Lawan Ketakutan Anda untuk menjadi Bintang
“Memayu Hayuning Bawono bukan sekadar slogan, tapi laku keseharian dari mereka yang tak takut menjadi terang dalam gelap.”
Petang ini, saat adzan Maghrib telah selesai berkumandang dan semburat jingga perlahan surut dari atap emper rumah Rungkut Surabaya, ada kehendak kecil muncul setelah sowan menghadap-Nya: melipir sejenak ke warkop langganan tak jauh dari rumah. Ngapain ke warkop? Menulis, tentu saja.
Sudah jadi rahasia umum bagi pembaca tulisan ini, bahwa cara menulis ala Mister AAS sering lahir dari fenomena keseharian. Sesuatu yang mengusik emosi, lalu memicu jari jemari untuk mengetik huruf demi huruf. Maka tulisan pun lahir: dari yang nyata, bukan yang dibuat-buat.
Setelah seharian berkutat membenahi struktur organisasi dan berkoordinasi soal agenda-agenda, duduklah sejenak di emper rumah. Memandang layar ponsel, membuka grup WhatsApp. Biasa, kadang nimbrung guyon maton parikeno, kadang jadi silent reader yang cukup memberi emoji atau stiker. Tapi sore tadi, satu pesan mencuri perhatian.
Seorang sosok muda, seorang profesor, mengirimkan foto ke grup Incagri. Dalam foto itu tertulis colekan dengan emoticon jempol yang banyak:
“Nglaras om @Dr. Agus Andi Subroto . Dengan tulisan yg diperbuatankan👌👌👌 supaya berdampak👍👍👍.”
Saya tak langsung membalas. Sosok ini saya kenal baik. Dulu bocah ndeso, kini doktor cumlaude lulusan Jerman. Guru Besar termuda di fakultasnya, kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian UB. Sebagai akademisi, ia menulis artikel jurnal yang langsung accepted di jurnal-jurnal top Scopus Q1. Sebagai ayah dan suami, hidupnya harmonis. Bagi saya, ia adalah “manusia langka”—limited edition—yang bisa melampaui rasa takut, rasa kecil, atau luka-luka lama yang mungkin dulu pernah hadir.
Tapi saya tak menyebut laku hidupnya sebagai perjuangan. Lebih pas disebut “ngelaras urip”: menyelaraskan langkah dengan visi, semangat, dan kompetensi. Ia tidak sekadar menjadi akademisi di menara gading, tapi hidup di tengah-tengah rakyat, menghidupi ruang-ruang intelektual dan lapangan marginal kehidupan.
Sejenak saya menyapa penjaga warkop, “Mas bro, tolong bikinkan kopi pahit dan njaluk 234 satu batang yo.”
“Siap, Mister AAS!” sahutnya.
Kembali ke obrolan tadi, hubungan kami bukan sekadar senior-junior. Saya belajar banyak dari ketekunannya di dunia akademik, sementara ia juga tak jarang mengapresiasi tulisan-tulisan saya yang tersebar di Facebook atau portal informasi. Kami sama-sama tak lagi mengejar eksistensi pribadi, melainkan punya semangat yang sama: “Memayu Hayuning Bawono.” Mempercantik dunia yang sudah indah ini agar menjadi lebih layak huni, lebih manusiawi.
Sahabat pembaca yang budiman, percayalah: Anda pun layak menjadi bintang. Syaratnya hanya satu: lawan ketakutan Anda sendiri. Jangan biarkan rasa takut mengunci potensi diri. Lupakan luka, maafkan masa lalu, dan bersiaplah menyambut hidup dengan cahaya baru yang telah disiapkan Tuhan untuk Anda.
Lihatlah profesor muda dari FP UB itu—duduk jegang, pakai topi kelangenan, nyeruput kopi di cangkir lawas, sembari mengeja alam dan guyon maton di padepokannya di Malang Selatan. Bahagia dan merdeka dalam laku dan makna hidupnya.
Dan kabar baiknya: Anda pun bisa.
Jangan tunggu esok. Buruan eksekusi!
Karena Anda layak jadi bintang dalam gambar dan visi hidup Anda sendiri.
Jangan terlalu sibuk memikirkan kata orang—cukup ikuti suara batin Anda yang jernih.👏👍🙏😚❤️
AAS, 03 Mei 2025
Warkop langganan Rungkut Surabaya
Tinggalkan Balasan