Ulama Sebagai Pagar Umat di Era Cosmo
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Cosmo dimaksud saya ambil dari asal kata “cosmopolitan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, cosmopolitan memiliki 2 arti. Arti pertama adalah “Mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas”. Dan arti kedua adalah “Terjadi dari orang-orang atau unsur-unsur yang berasal dari pelbagai bagian dunia”.
Mendengar cosmo, terdengar seperti “postmo” yang adalah kependekan dari postmodernisme. Postmodernisme adalah serangkaian paradigma mengenai kritik terhadap karakteristik masyarakat modern, yang memiliki kecenderungan yang digambarkan sebagai segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas atau berbalik dengan modernitas yang terjadi.
Cosmopolitanisme adalah gagasan bahwa semua manusia adalah anggota dari satu komunitas. Penganutnya dikenal dengan istilah kosmopolitan atau kosmopolit. Kosmopolitanisme bersifat preskriptif dan aspiratif, meyakini bahwa manusia dapat dan harus menjadi “warga dunia” dalam “komunitas universal”. Demikian kata Wikipedia.
Menurut Ubeidillah Badrun, “Cosmopolitan sejatinya tidak bisa diukur dari kemegahan pembangunan fisik, tetapi dari cara berpikir masyarakat di kota itu. Arti dari kosmopolitan adalah pola pikir yang terbuka dan bisa menerima berbagai perbedaan. Jika ada hal yang tidak disetujui, bukan menjadi alasan berkonflik, tetapi menjadi diskursus yang dibahas secara rasional”.
Dalam bahasa sehari-hari, kita menjumpai istilah cosmopolitan ini dalam ruang-ruang diskusi , seperti di televisi. “Jakarta sebagai kota cosmopolitan, kini menjadi kota 24 jam yang tidak mengenal istirahat”, sebagai sebuah contoh kalimat untuk menunjukkan bahwa kota itu selalu ramai oleh aktivitas warganya yang berasal dari latar belakang yang beragam.
Karena cosmopolitan yang kemudian secara sederhana dimaknai sebagai gambaran atau situasi yang menunjukkan suasana ramai, gegap gempita, modern, serta beragam, maka istilah ini kemudian menjadi sah dipakai untuk menunjukkan masa atau zaman tertentu dalam sejarah peradaban manusia. Cosmopolitan indentik dengan kemodernan.
Lalu, apa hubungannya cosmo dengan ulama sebagai pagar umat sebagaimana judul tulisan di atas? Sebagaimana kita mafhumi bahwa ulama itu merupakan warosatul anbiya. Istilah ini merujuk kepada sebuah hadits yang berbunyi “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak”.
Hadits ini diriwayatkan Imam Tirmidzi di dalam Sunan Nomor 2681, Ahmad di dalam Musnad 5/169, Ad-Darimi di dalam Sunan 1/98, Abu Dawud Nomor 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimahnya dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Sementara Al-Albani mengatakan bahwa “Haditsnya shahih”. Sengaja data ini disajikan untuk mengcounter pertanyaan, “Masa sih Rosulullah sempat bilang begitu?”.
Karena Rosulullah menahbiskan para ulama sebagai pewarisnya, maka tersirat makna bahwa sepeninggal beliau, ulama lah tempat orang bertanya dan mengadu atas berbagai hal, sebagaimana peran yang diemban selama ini oleh beliau. Baik perkara keumatan, kebangsaan, ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya.
Keteladanan yang dicontohkan oleh Rosulullah, bukan hanya dalam hal pengetahuan dan pemahaman atas sebuah perkara saja. Tetapi juga adab dan akhlak yang telah beliau tunjukkan. Karenanya, seorang ulama bukan hanya sosok yang mumpuni dalam hal pengetahuan dan pemahaman, khususnya tentang agama. Tetapi juga menyertainya dengan akhlak dan adab yang baik.
Karena Rosulullah memiliki sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah, maka sebagai pewarisnya, para ulama juga memiliki sifat-sifat tersebut. Benar dalam perkataan dan perbuatan, terpercaya dan dapat dipercaya, memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyampaikan perintah dan larangan, serta cerdas dalam menyikapi beragam persoalan.
Yang tidak kalah penting dari itu adalah memiliki serta membiasakan perilaku yang baik. Adab dan akhlak ini melengkapi empat kemampuan itu. Maka pada posisi itulah sosok ulama menjadi paripurna sebagai uswatun hasanah pengganti Rosulullah. Ulama menjadi panutan umat.
Tetapi ada juga ulama yang telah memiliki empat kemampuan tersebut, namun dalam perilakunya ada yang bertentangan dengan nilai dan norma yang terkandung dalam sifat-sifat mulia tersebut. Bisa kita ambil contoh misalnya peristiwa tindakan asusila, atau kejahatan lainnya seperti praktik penggandaan uang yang dilakukan oleh sosok yang mestinya menjadi panutan umat tersebut.
Sebaliknya, ada yang mengaku dan mengidentifikasi dirinya sebagai ulama, namun tidak memiliki kapasitas untuk itu. Hanya karena tergabung dalam organisasi tempat berhimpunnya para ulama, lalu secara otomatis dirinya merasa menjadi ulama. Pastinya, sikap merasa diri itu bukan dari bagian sifat-sifat baik yang ditinggalkan oleh Rosulullah sebagai pemberi mandat tugas-tugas kenabian.
Idealnya, ulama juga memiliki kemampuan dan keberanian dalam menyampaikan kebenaran. Qulil haq walau kaana murran. Menyampaikan kebenaran walau mengandung resiko. Berani menyampaikan kebenaran sebagai wujud pembelaannya terhadap kemashlahatan umat.
Seperti halnya belakangan ini kita dihebohkan oleh program pemerintah dalam bentuk Program Strategis Nasional atau PSN, berupa proyek Pantai Indah Kapuk 2 atau PIK 2, yang sedang dibangun di sepanjang pantai pesisir utara di wilayah Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang di provinsi Banten.
Proyek ini menuai penolakan dari sebagian masyarakat karena dinilai tidak berdampak positif terhadap hajat hidup rakyat. Bahkan sebaliknya, proyek ini dinilai telah menimbulkan kerugian bagi rakyat. Mereka tersingkir dari tanah kelahirannya. Mereka kehilangan pekerjaan. Mereka tercerabut dari peradaban.
Tapi yang mereka hadapi merupakan kelompok yang memiliki kekuatan besar dan tidak sebanding. Yaitu rezim dan konglomerat. Mereka perlu bantuan dan pertolongan. Disinilah peran ulama diperlukan. Sebagai penjaga moral umat sekaligus penjaga moral bangsa, diharapkan suara mereka bisa didengar oleh penguasa dan pengusaha itu.
Sebagian dari ulama kemudian merapatkan barisan bersama rakyat. Mereka melakukan perlawanan untuk menolak PSN PIK 2. Mereka menuntut agar pagar bambu yang telah tertancap di sepanjang 30 kilometer pantai utara Provinsi Banten, yang disinyalir sebagai langkah awal pembangunan proyek PIK 2 ini dicabut.
Di tengah gencarnya penolakan proyek ini yang dimotori oleh sebagian ulama itu, tersiar kabar ada ulama lain yang menunjukkan keberpihakannya untuk mendukung proyek tersebut. Mereka ini, bukan hanya mempolitisasi dalil dengan menyajikan konsepsi ihya al-mawat sebagai justifikasi atas mashlahatnya proyek tersebut, tetapi juga berusaha membungkam suara kritis ulama lain itu dengan cara lain.
Semoga para ulama senantiasa diberikan kekuatan dan kesabaran. Semoga mereka selalu istiqomah dalam sikapnya membela rakyat. Semoga mereka selalu konsisten menjadi pagar dalam membentengi akhlak dan kepentingan umat. Semoga mereka tidak oleng pendirian hanya karena mendapatkan “cosmo”. Karena ulama merupakan pagar bagi umat di era cosmo, eh postmo ini. Wallahualam.
*
*Cosmo juga merupakan salah satu varian atau model kain sarung dengan merk terkenal
Tangerang, Sabtu, 18 Januari 2025
Penulis adalah Alumnus Prodi Aqidah dan Filsafat IAIN SGD Bandung, Pengurus ICMI Orwil Banten, Wasekjen X Pengurus Besar Mathlaul Anwar, dan Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)
Tinggalkan Balasan