Pagi ini, secangkir kopi di Warung Kopi Karmen Surabaya kembali menjadi saksi bisu perjalanan pemikiran Mister AAS. Sembari menyeruput aroma robusta yang khas, saya diingatkan oleh alam semesta tentang beragam pengalaman hidup—seperti panggilan lembut yang datang dari masa lalu, sebuah pesan cinta dari aplikasi milik Kang Mark Zuckerberg yaitu aplikasi Facebook.
Pesan itu mengingatkan saya akan kenangan ketika Mister Kentang Kriwul menjadi lapak penggerak yang membantu membiayai kuliah S2 di STIESIA Surabaya, hingga akhirnya lulus dengan predikat cumlaude. Maturnuwun, Gusti.
Kebiasaan pagi ini bukan sekadar rutinitas; setelah mengantar istri ke kantornya, saya seringkali singgah di “markas”—Warung Kopi Karmen—bertemu para kolega, penjemput takdir hidup yang memiliki kisahnya masing-masing. Di antara hiruk pikuk pengunjung yang sibuk dengan urusan pekerjaan, saya justru sibuk mencari ide tulisan yang akan dipahat hari ini.
Ternyata, pesan sederhana dari aplikasi tersebut mengajarkan saya untuk selalu bersyukur, dan pada pagi ini, saya kembali belajar tentang konsep positioning—bukan hanya untuk produk, tetapi juga untuk diri kita sebagai manusia. Product positioning adalah bagaimana produk diingat oleh pelanggan; Nike, Macbook, dan Indomie goreng hanyalah contoh dari brand yang berhasil memahat posisi kuat di benak kita.
Sepatu Nike mengingatkan kita pada desain trendi dan teknologi atletik terkini, Macbook mengesankan dengan desain minimalis dan keandalan sistemnya, sementara Indomie goreng selalu memberikan rasa nyaman dan kepraktisan dengan harga terjangkau.
Lalu bagaimana dengan manusia? Seperti produk-produk tadi, manusia pun bisa memiliki brand yang melekat pada diri mereka—bagaimana orang lain mengenal dan mengingat kita. Namun, sering kali kita terlalu sibuk membangun brand produk atau jasa, dan lupa membangun brand diri kita sendiri.
Padahal, bagaimana kita dikenal oleh kolega, bagaimana kita diakui di lingkungan sosial, dan bagaimana keberadaan kita berdampak pada organisasi atau institusi, adalah bagian penting dari perjalanan hidup kita.
Produk seperti Nike, Macbook, hingga Indomie telah melalui perjalanan panjang menjaga integritas dan kualitas, sehingga mereka bisa membanggakan setiap pemakainya. Sebagai manusia, kita punya potensi yang lebih besar: kita bisa mendesain brand diri yang jauh lebih bermakna.
Dan di sinilah letak tantangan terbesarnya—branding diri adalah sebuah proses yang sama agungnya dengan menciptakan produk yang bermutu. Dari sinilah takdir hidup kita akan terbentuk.
Di ruang kuliah yang saya ampu—kewirausahaan, pemasaran, kepemimpinan, hingga manajemen sumber daya manusia—konsep membangun brand diri ini terus saya tekankan kepada para mahasiswa ITB YADIKA PASURUAN. Mereka, sebagai kaum cendekia, perlu sadar betapa berharganya posisi mereka dalam melayani semesta dengan brand diri yang unik dan otentik.
“Branding diri adalah jejak yang kita ukir di benak orang lain; dari sana, perjalanan hidup akan membentuk takdir kita.”👏👍🙏😚❤️
AAS, 10 Oktober 2024
Warkop Karmen Surabaya
Tinggalkan Balasan