Apa yang terjadi ketika kita menjumpai fenomena yang membawa kembali kenangan masa kecil?
Sebagai penulis yang lahir dan besar di desa, tempat lembah dan lereng pegunungan adalah pemandangan sehari-hari, cakrawala yang mendung menjadi teman setia. Sore ini, perjalanan menuju kampus ITB Yadika Pasuruan terasa istimewa. Langit Kota Pahlawan sudah menyapa dengan warna kelabu sejak pagi, menghadirkan suasana yang tidak mungkin diabaikan begitu saja.
Hari baru disambut rinai hujan, butiran perak yang turun memberi warna berbeda. Sinar matahari menghilang sementara, memberi ruang bagi keindahan mendung yang menyelimuti kota. Saat tulisan ini dibuat, dan penulis tengah berangkat bekerja, nuansa syahdu itu tetap bertahan.
Rasanya, anasir dari kampung halaman belum ingin pergi. Baru tadi malam penulis tiba dari Klaten, setelah mengambil kitab suci. Sore ini, suasana yang disajikan alam terasa serupa, seperti lukisan alam di tempat kelahiran—cuaca dan energi yang menenangkan.
Mungkin ini pengaruh bulan September. Kata para sesepuh, bulan yang berakhiran Mber adalah pertanda awal musim hujan. Langit, tentu saja, dilukis mendung sesuai musimnya.
Bagi penulis, cuaca sore di Surabaya ini adalah sebuah kemewahan yang tidak tergantikan. Perjalanan menuju kampus pun penuh semangat, seolah semesta tahu bagaimana caranya menghibur dan memberi kekuatan untuk menikmati hari-hari yang selalu penuh kejutan.
“Setiap sore membawa cerita, setiap langkah menuju ke tempat yang baru adalah cara semesta mengingatkan kita untuk bersyukur.”
Maturnuwun Gusti… 👏👍🙏😚❤️
AAS, 23 September 2024
Warkop Langganan, Rungkut Surabaya
No responses yet