NUSANTARA BARU INDONESIA MAJU (Sebuah Kritik untuk Tema HUT RI Ke-79)

Oleh: Endang Yusro

Tulisan singkat ini sebagian cuplikan dari komentar penulis pada postingan seorang senior di sebuah akun facebook miliknya. Namun sebelum melampirkan cuplikan dimaksud ada beberapa informasi terkait rencana kegiatan perayaan HUT RI KE 79 yang merupakan mimpi Jokowi menjelang akhir masa pemerintahannya.

Informasi pertama sebagaimana penulis kutip dari cnnindonesa.com tentang pelaksanaan HUT RI yang dilaksanakan di dua tempat, yaitu pertama, upacara kemiliteran di IKN yang akan dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kedua, hiburan rakyat di Istana Merdeka Jakarta yang dipimpin oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Pernyataan Menteri Keuangan yang mengatakan untuk mewujudkan mimpi Jokowi tersebut, pemerintah menggelontorkan anggaran hingga Rp87 miliar. Hal ini menjadi ulasan (untuk tidak menyebut kritik) terhadap Jokowi di akhir Kepemimpinannya.

Biaya pesta peringatan yang tidak sedikit di tengah kehidupan masyarakatnya yang masih belum stabil membuat penulis merasa pilu. Jangankan dalam keadaan sengsara, dalam suasana adapun baiknya kita jangan hidup berfoya-foya. Begitu teladan Baginda Rasulullah S.a.w. kepada umatnya.

Pernyataan Direktur Jenderal Anggaran Isa Rachmatarwata tentang anggaran biaya dalam menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia sebagaimana sumber yang sama mengatakan bahwa tahun Pemerintah menyiapkan anggaran Rp 87 miliar untuk perayaan 17 Agustus di IKN, jika dibanding dengan tahun lalu di Jakarta itu yang menghabiskan anggaran Rp 53 miliar.

Terhadap masalah ini Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menyebut biaya mahal untuk perayaan HUT ke-79 RI di IKN sejatinya tak hanya dinikmati elit bangsa tapi juga masyarakat bawah. Ia menyebut masyarakat di sekitar sana lah yang bisa menikmati situasi tersebut bukan pemerintah yang berbasis di Jakarta.

Bagi penulis, terutama dalam kondisi seperti sekarang ini apapun alasannya tidak dibenarkan menggunakan anggaran yang berlebihan, terlebih ini sepertinya hanya untuk memenuhi hasrat ambisinya saja.

Lebih baik anggaran “pesta” peringatan tersebut dialokasikan untuk kegiatan agama, pendidikan, dan sosial jika memang Nusantara Baru ini menghendaki Indonesia Maju.

***

Berikutnya komentar penulis terhadap status seorang senior yang mengarah pada antitesis terhadap pihak yang mempermasalahkan kasus yang sedang aktual, yakni pelarangan memakai jilbab bagi Muslimah (petugas wanita pengibar bendera yang beragama Islam).

Meski tidak menyebut kasus pelarangan dimaksud, namun dengan analogi yang diberikan, seperti gambaran beberapa Perguruan Tinggi (PT) yang tidak mempermasalahkan perbedaan agama, meski PT tersebut menggunakan identitas salah satu agama, seperti UIN, UNISBA, dsb.

Seperti juga dalam pernyataannya, “Sebuah perusahaan menerapkan kriteria untuk calon pelamar kerja, yaitu wajib berpenampilan rapi, rambut pendek, dan seluruh wajah mestynampak. Maka yang tak memenuhi kriteria tsb. tidak bisa diterima sebagai pekerja.” Begitu ungkapnya.

Dan beberapa contoh kasus lain, yang mempertegas antitesisnya terhadap pelarangan penggunaan jilbab bagi Paskibraka wanita. Posting tulisan tersebut menggugah penulis untuk berasumsi atas kontradiksi yang terjadi.

Adapun respon atas postingan senior yang biasa penulis sebut “Kanda’ adalah sebayberikut:

“Sudah betul ini, Kanda. Hanya saja yang membuat peraturan ini lembaga Pemerintah, milik semua lapisan, dan bukan milik pribadi atau golongan. Kalau milik pribadi atau golongan sih, gak jadi masalah menentukan aturan sakarep dewek.

Dan  karena ini milik bersama mestinya aturan dibuat secara bijak, memperhatikan prinsip terlebih ini terkait dengan agama (memakai jilbab, bagian dari kewajiban beragama).

Kecuali yang membuat aturan tsb. inginnya Negeri ini ramai, gaduh, kacau. Sekali lagi, mestinya yang punya kebijakan bisa mengukur apakah aturan yang akan dimunculkan berpotensi polemik atau tidak.

Saya akhir-akhir ini agak heran dengan “Pemerintah” yang sepertinya sudah tidak mempedulikan lagi efek yang akan terjadi terhadap respon dari kebijakan yang dikeluarkan.

Jika saya mencermatinya, jangankan yang bersinggungan seperti kasus pelarangan memakai jilbab bagi anggota Paskibra, lha wong kebijakan yang dianggap lurus saja akan dicari kesalahannya untuk kemudian digoreng menjadi isu negatif.

Beberapa waktu lalu kita diingatkan dengan kasus pelarangan menggunakan pengeras suara di tempat ibadah (baca, masjid dan mushalla). Lalu kemudian logo halal MUI.

Kalau saya menyebutnya ini ulah para pemegang kebijakan yang entah disengaja atau tidak memunculkannya hingga menuai konflik. Padahal bisa saja kebijakan tersebut dimunculkan setelah Negeri ini dianggap sudah kondusif dari politisasi.

Maksudnya, mengapa mesti ada larangan memakai jilbab “hanya” untuk mengibarkan bendera? Sebegitu aibnya kah wanita berhijab mengibarkan “Sang Saka Merah Putih”? Sebegitu sakralnya kah Bendera Merah Putih dibandingkan jilbab?

Dengan kasus ini mengingatkan pada kasus puisi Sukmawati Soekarnoputri yang sempat menghebohkan karena membanding jilbab dengan konde yang pernah saya tulis: https://abysalman.blogspot.com/2018/04/kontroversi-puisi-sukmawati.html?m=0

Terakhir, sekali lagi Pemerintah dalam hal ini yang mempunyai kebijakan mestinya menahan dulu, kecuali memang Pemerintah sudah kemasukan, sudah tersusupi pihak-pihak yang memang menghendaki sirnanya Negara +62. Karena memang targetnya semua sektor Pemerintah mereka susupi.” Wallahu a’lam.

Categories:

Tags:

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *