SRIKANDI MUHAMMADIYAH, NYAI AHMAD DAHLAN
Oleh: Endang Yusro ( Kepala SMA Muhammadiyah Kota Serang)
Akhir pekan pagi (Ahad*, 11/8/2024) mengkhususkan waktu sejenak untuk menyaksikan tayangan “Perempuan-perempuan Nusantara”, Program miliknya stasiun KOMPAS tv. Program yang tayang di setiap akhir pekan berdurasi 30 menit, yakni mulai pukul 9:00 s.d. 9:30 ini menyajikan tentang sosok Srikandi Muhammadiyah, Nyai Ahmad.
Selain menyajikan sosok Nyai Ahmad Dahlan yang bernama asli Siti Walidah puteri dari Kyai Haji Muhammad Fadhil program ini juga mengupas kiprah Ibu Nyai ini dalam mendirikan perkumpulan kaum wanita yang bernama Aisyiyah.
Siti Walidah yang lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1872 Masehi, ayahnya K.H. Muhammad Fadhil termasuk ulama besar yang berpengaruh dan terpandang di kampungnya.
Ahmad Dahlan yang menjadi suaminya ternyata juga adalah sepupunya. Saat Ahmad Dahlan sedang sibuk-sibuknya mengembangkan Muhammadiyah, sebagai istri, Siti Walidah menemani suaminya dalam perjuangannya.
Pandangan jalan perjuangan sang suami, Ahmad Dahlan yang dianggap radikal membuat suami istri ini kerap mengalami ancaman dan intimidasi, bahkan ancaman pembunuhan dari golongan yang merasa terusik.
Namun ancaman tersebut tidak menjadikan mereka bergeming malah semakin membangkitkan ghirah. Bagi mereka merubah perkara yang tidak baik menjadi baik, lebih beresiko daripada mengajak kepada kebeneran, “Qulil haqqa walau kana murran.”
Sopo Tresno sebagai Rujukan Berdirinya Aisyiah
Sopo Tresno merupakan frasa Jawa yang berarti “siapa senang”, merupakan kelompok diskusi untuk mendalami makna al-Qur’an, terutama ayat-ayat tentang perempuan. Selain itu, organisasi Sopo Tresno juga menjadi wadah bagi kaum perempuan untuk belajar membaca dan menulis, serta mempelajari berbagai ilmu pengetahuan
Pada tahun 1914, Siti Walidah mendirikan Sopo Tresno. Siti Walidah bersama Ahmad Dahlan bergantian memimpin kelompok tersebut dalam membaca Al-Qur’an dan mendiskusikan maknanya.
Siti Walidah mulai fokus pada ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas isu-isu perempuan. Dengan mengajarkan membaca dan menulis melalui program Sopo Tresno, Kiai Dahlan dan Ibu Nyai dapat memperlambat kristenisasi di Jawa, yaitu melalui sekolah yang didukung oleh pemerintah Hindia Belanda.
Meski sebagai pemrakarsa berdirinya Aisyiyah melalui Sopo Tresno dan juga isteri dari Ulama Muhammadiyah, namun tidak serta-merta menjadikan Siti Walidah menjadi Ketua Umum Aisyiyah saat itu. Namun dipilihnya Siti Bariyah yang mendapatkan amanah sebagai Ketua pertama ‘Aisyiyah membuktikan bahwa tidak ada pengkultusan dalam Muhammadiyah.
Melalui Aisyiyah, Siti Walidah mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan. Ibu Nyai juga menentang adanya kawin paksa. Berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa yang patriarki, Siti Walidah berpendapat bahwa perempuan dimaksudkan untuk menjadi mitra suami mereka.
Sekolah Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi pendidikan Ahmad Dahlan dan isterinya, Siti Walidah, yakni Catur Pusat: pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat-tempat ibadah.
Menutup catatan Akhir Pekan ini, demikianlah kiprah yang telah ditorehkan Ibu Nyai dalam membangun peradaban Bangsa ini, sehingga Ibu Nyai, Siti Walidah diangkat menjadi pahlawan nasional karena turut membangkitkan pembaharuan Islam, pergerakan perempuan, dan pendidikan nasional melalui organisasi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.
No responses yet